Jumat, 27 Januari 2023

MOMEN BERHARGA TANPA ORANG TUA


Prestasi cemerlang seorang anak menjadi dambaan setiap orang tua. Keluarga sebagai madrasah pertama (al-madrasatul ula) meniscayakan kehadiran kedua orang tua dalam proses pendidikan anak di rumah. Hampir mayoritas anak yang sukses (baik prestasi ketika sekolah atau prestasi memenuhi tuntutan kerja) sangat di pengaruhi sebarapa besar usaha orang tua dalam mendampingi pendidikan anaknya, atau seberapa dekat kedua orang tua dalam mendengarkan keluh kesah sang anak.

Peluk hangat dan belaian kedua orang tua yang mestinya menjadi obat penenang yang menimbulkan efek nyaman bagi anak usia balita tidak bisa Penulis rasakan. Yatim Piano (ditinggal merantau Ayah dan Ibu ke Malaysia) sejak usia dua tahun membuat Penulis tidak bisa merasakan itu semua. Buru-buru dapat pelukan hangat dan belaian mesrah, dapat senyum simpul dari bibir keduanya pun tidak.

Tumbuh kembangpun tak bisa di elakkan. Pertumbuhan dari masa anak-anak  menuju masa remaja dan dari masa remaja menuju dewasa Penulis jalani tanpa pendidikan dan sentuhan langsung dari kedua orang tua. Sepahit apapun warna takdir yang ada, Penulis jalani dengan segala keterbatasan kemampuan fisik dan mental. Plus minus hidup tanpa didampingi kedua orang tua adalah irisan indah ribuan sisi kehidupan yang kadang buram dan kadang cemerlang. Kadang hina dan kadang mendewasakan.

Privat.dok


Bagaimanapun lemah dan hinanya hidup kita, pasti punya harapan terindah yang  keberadaannya sangat membutuhkan kehadiran kedua orang tua, baik dalam kondisi duka maupun suka. Menjalani masa-masa keluh kesah, duka nestapa, hina dina dalam bergaul dengan sesama sudah terbiasa Penulis alami, seolah sudah kebal dengan semua itu. Namun keinginan untuk didampingi kedua orang tua dalam situasi suka cita, kadang membuat dada ini sesak tak berdaya.

Ada banyak moment penting bagi Penulis yang sangat butuh kehadiran kedua orang tua. Pertama, ketika Penulis meninggalkan kampung halaman (Sumber Lanas Teluk Jati Dawang Tambak Bawean) menyeberangi lautan untuk menuntut ilmu ke PP. Sidogiri Pasuruan. Kedua, saat mendapatkan mandat dari Pesantren untuk menjadi Guru Tugas ke Pulau Garam Madura (PP.Mahasinul Akhlaq, Larangan Ganding Sumenep). Ketiga, ketika Wisudah Raya Diplomah Dua (INSTIK Annuqayah Guluk-Guluk), dan masih banyak lagi momen lain yang menurut hemat Penulis sudah selayaknya dapat perhatian dan pendampingan khusus dari kedua orang tua. Semua momen itu Penulis jalani mengharu deru dalam bingkai senduh tanpa kehadiran orang tua tercinta. Semua yang terjadi tidak harus di sesalkan, karena kebahagiaan yang sebenarnya adalah menjalani apa adanya dengan suka cita.

Sepandai-pandai tupai melompat pasti terjatuh juga, sepandai-pandai menyimpan bangkai pasti bauhnya kan kelihatan. Kedua pepatah itu mungkin yang pantas Penulis ungkap saat satu momen terpenting yakni Pernikahan tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Pada waktu itu tepatnya tanggal sembilan bulan sembilan tahun dua ribu enam, setelah mendapat restu dari kedua orang tua, Penulis berusaha menggapai mimpi untuk mempersunting permata hati belahan jiwanya. Jauh-jauh hari, Penulis sudah mencoba bernegosiasi dengan kedua orang tua, berharap keduanya atau salah satunya bisa pulang ke Indonesia untuk memeriahkan acara pernikahan yang akan digelar, meski sulit rasanya untuk menghadirkan keduanya (keduanya sudah bercerai, Ibu sudah kawin lagi dan ayah juga sudah kawin).

Acara  Pinangan tetap berjalan, bertindak sebagai wakil orang tua Penulis adalah keluarga besar Pondok Pesantren Mahasinul Akhlaq dimana Penulis mengabdi pertama kali. Calon mempelai wanita yang hanya berjarak sekitar 500 M, menjadi salah satu faktor lancarnya acara ini. Acara Pinanganpun berjalan lancar, murah meriah tanpa kendala sedikitpun. Kepastian tanggal pernikahan pun telah ditentukan.

“Emmak, alhamdulillah acara Pertunangan berjalan lancar, Insya Allah pernikahan akan dilangsungkan tanggal sembilan tiga bulan yang akan datang.” Pemberitahuanku pada Ibu.

“Emmak pulang, ya?” Pintahku.

“Oh…gitu. Semoga emmak tidak berhalangan ya, Nak? Jawab Ibu singkat.

Selanjutnya Ku telpon Ayah tentang semua ini, dan memohon Ayah juga bisa pulang di acara paling sakral yang akan Penulis jalani.

“Pak, acara pertunangannya alhamdulillah berjalan lancar.” Ucapku.

“Syukurlah, Nak kalau begitu” jawabnya singkat.

“Apa Ayah bisa pulang?” tanyaku.

“Kapan, acara pernikahannya, Nak?” Ayah balik bertanya.

“Insya Allah tanggal sembilan bulan sembilan, Pak.” Jawabku.  Dalam benak selalu berharap dan berdo’a semoga Ayah memberi kepastian untuk pulang.

“Aduh, maaf, Nak. Ayah tak bisa pulang. Kamu kan tau kalau Ayah baru datang pulang kampung. Bisa dapat uang dari mana?” jawaban ayah agak ketus. Ku usap dadaku sembari berucap dalam hati.

“Astaghfirullahal ‘adzim.” Tiba-tiba sesak napasku mendengar jawaban Ayah yang tidak sesuai dengan harapan. Tapi Penulis sadar bahwa semua sudah jadi irisan takdir yang harus dijalani.

“Ya sudah kalau begitu, ma’afkan Aku, ya Pak?” Aku coba menutup HP dengan sedih.

Satu minggu sebelum janur kuning melengkung di pelaminan, Penulis kembali menghubungi Ibu. Tinggal Ibu satu-satunya harapan untuk mendampingi Penulis di momen maha penting, yang hanya akan digelar satu kali seumur hidupku.

“Ma’af ya, Nak. Ma’afkan Ibu.” Dari HP terdengar isak tangis Ibu, belum pernah Aku mendengar tangisan Ibu sesedih ini.

“Ibu hanya bisa menyumbang untuk acara resepsimu aja, Nak. Ibu tidak punya ongkos untuk Pulang ke Indonesia.” Lanjutnya. Bagai disambar petir mendengar kata-kata menyayat dari Ibu. Mulut ini terasa kaku tak mampu berucap sepatah katapun.

“Sekali lagi maafin Ibu ya, Nak? Tak ada sedikitpun Ibu punya niatan untuk menyia-nyiakanmu.” Akupun larut dalam kesedihan. Tak terbayang, momen terindah dalam hidupku tanpa kehadiran kedua orang tua.

Waktu berjalan mengantar malam menjemput pagi. Pernikahan tetap harus dilaksanakan meski tanpa kehadiran kedua orang tua. Tak ada seorangpun dari mempelai laki yang bersedia datang, baik dari keluarga besarnya yang di Malaysia atau keluarga besarnya yang di Bawean. Beruntung ada Sepupuh Ayah yang kawin di Madura yang bersedia menjadi pengganti orang tuaku.

Malam yang ditentukan telah tiba. Penulis mencoba tegar seolah tak ada apa-apa  dalam dirinya. Di dampingi Keluarga Besar Pondok Pesantren Mahasinul Akhlaq dan Keluarga Besar Pondok Pesantren Al-Ishlah, Penulis merasa tidak sendiri. Dengan gagahnya penulis berangkat penuh percaya diri menuju rumah Calon Istri. Hanya butuh waktu lima menit dengan berjalan kaki untuk sampai tujuan.

Rombongan Mempelai Pria sudah memasuki halaman dan disambut meriah oleh keluarga Mempelai Wanita. Kamipun dipersilahkan masuk ke mushalla tepat di depan rumah Calon Istri. Setelah suguhan di hidangkan dan basah basih seputar pernikahan dituturkan. Akhirnya Calon Mertuku menyerahkan Wali Nikah Kepada Kiai Miftah (Pengasuh PP. Al-Ishlah) ayah mertua sepupu Ayahku.

Acara sakral pernikahan sebentar lagi akan digelar. Di detik-detik itulah Ku menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada bayang orang tua kandungku di sana ikut serta memeriahkan pesta perkawinan anak tercintanya, namun semua hampa. Sedih bercampur haru menusuk jiwa,  air matapun menetes tanpa terasa. Duka nestapa berselimut suka cita, dihari yang paling berharga tanpa hadirnya kedua Orang Tua. Dalam benak hanya bisa menghiba “Semoga perkawinanku kekal ke surga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

KEKUATAN KARAKTER YANG LAHIR DARI SIFAT SABAR DAN TAWADLU’ (Edisi Lanjutan......!)

35. Mind Set (Pola Pikir)   Tikungan maut kolam bertanggul  Berguling mobil bermotif batik  Lingkungan baik dalam bergaul  Menggiring kita h...