Prestasi
cemerlang seorang anak menjadi dambaan setiap orang tua. Keluarga sebagai
madrasah pertama (al-madrasatul ula) meniscayakan kehadiran kedua orang
tua dalam proses pendidikan anak di rumah. Hampir mayoritas anak yang sukses
(baik prestasi ketika sekolah atau prestasi memenuhi tuntutan kerja) sangat di
pengaruhi sebarapa besar usaha orang tua dalam mendampingi pendidikan anaknya,
atau seberapa dekat kedua orang tua dalam mendengarkan keluh kesah sang anak.
Peluk
hangat dan belaian kedua orang tua yang mestinya menjadi obat penenang yang
menimbulkan efek nyaman bagi anak usia balita tidak bisa Penulis rasakan. Yatim
Piano (ditinggal merantau Ayah dan Ibu ke Malaysia) sejak usia dua tahun
membuat Penulis tidak bisa merasakan itu semua. Buru-buru dapat pelukan hangat
dan belaian mesrah, dapat senyum simpul dari bibir keduanya pun tidak.
Tumbuh
kembangpun tak bisa di elakkan. Pertumbuhan dari masa anak-anak menuju masa remaja dan dari masa remaja
menuju dewasa Penulis jalani tanpa pendidikan dan sentuhan langsung dari kedua
orang tua. Sepahit apapun warna takdir yang ada, Penulis jalani dengan segala
keterbatasan kemampuan fisik dan mental. Plus minus hidup tanpa
didampingi kedua orang tua adalah irisan indah ribuan sisi kehidupan yang
kadang buram dan kadang cemerlang. Kadang hina dan kadang mendewasakan.
![]() |
Privat.dok |
Bagaimanapun
lemah dan hinanya hidup kita, pasti punya harapan terindah yang keberadaannya sangat membutuhkan kehadiran
kedua orang tua, baik dalam kondisi duka maupun suka. Menjalani masa-masa keluh
kesah, duka nestapa, hina dina dalam bergaul dengan sesama sudah terbiasa
Penulis alami, seolah sudah kebal dengan semua itu. Namun keinginan untuk
didampingi kedua orang tua dalam situasi suka cita, kadang membuat dada ini sesak
tak berdaya.
Ada
banyak moment penting bagi Penulis yang sangat butuh kehadiran kedua orang tua.
Pertama, ketika Penulis meninggalkan kampung halaman (Sumber Lanas Teluk Jati
Dawang Tambak Bawean) menyeberangi lautan untuk menuntut ilmu ke PP. Sidogiri Pasuruan.
Kedua, saat mendapatkan mandat dari Pesantren untuk menjadi Guru Tugas ke Pulau
Garam Madura (PP.Mahasinul Akhlaq, Larangan Ganding Sumenep). Ketiga, ketika Wisudah
Raya Diplomah Dua (INSTIK Annuqayah Guluk-Guluk), dan masih banyak lagi momen
lain yang menurut hemat Penulis sudah selayaknya dapat perhatian dan
pendampingan khusus dari kedua orang tua. Semua momen itu Penulis jalani
mengharu deru dalam bingkai senduh tanpa kehadiran orang tua tercinta. Semua
yang terjadi tidak harus di sesalkan, karena kebahagiaan yang sebenarnya adalah
menjalani apa adanya dengan suka cita.
Sepandai-pandai
tupai melompat pasti terjatuh juga, sepandai-pandai menyimpan bangkai pasti
bauhnya kan kelihatan. Kedua pepatah itu mungkin yang pantas Penulis ungkap
saat satu momen terpenting yakni Pernikahan tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Pada waktu itu tepatnya tanggal sembilan bulan sembilan tahun dua ribu enam,
setelah mendapat restu dari kedua orang tua, Penulis berusaha menggapai mimpi
untuk mempersunting permata hati belahan jiwanya. Jauh-jauh hari, Penulis sudah
mencoba bernegosiasi dengan kedua orang tua, berharap keduanya atau salah
satunya bisa pulang ke Indonesia untuk memeriahkan acara pernikahan yang akan
digelar, meski sulit rasanya untuk menghadirkan keduanya (keduanya sudah
bercerai, Ibu sudah kawin lagi dan ayah juga sudah kawin).
Acara Pinangan tetap berjalan, bertindak sebagai
wakil orang tua Penulis adalah keluarga besar Pondok Pesantren Mahasinul Akhlaq
dimana Penulis mengabdi pertama kali. Calon mempelai wanita yang hanya berjarak
sekitar 500 M, menjadi salah satu faktor lancarnya acara ini. Acara Pinanganpun
berjalan lancar, murah meriah tanpa kendala sedikitpun. Kepastian tanggal
pernikahan pun telah ditentukan.
“Emmak,
alhamdulillah acara Pertunangan berjalan lancar, Insya Allah pernikahan akan
dilangsungkan tanggal sembilan tiga bulan yang akan datang.” Pemberitahuanku
pada Ibu.
“Emmak
pulang, ya?” Pintahku.
“Oh…gitu.
Semoga emmak tidak berhalangan ya, Nak? Jawab Ibu singkat.
Selanjutnya
Ku telpon Ayah tentang semua ini, dan memohon Ayah juga bisa pulang di acara paling
sakral yang akan Penulis jalani.
“Pak,
acara pertunangannya alhamdulillah berjalan lancar.” Ucapku.
“Syukurlah,
Nak kalau begitu” jawabnya singkat.
“Apa
Ayah bisa pulang?” tanyaku.
“Kapan,
acara pernikahannya, Nak?” Ayah balik bertanya.
“Insya
Allah tanggal sembilan bulan sembilan, Pak.” Jawabku. Dalam benak selalu berharap dan berdo’a
semoga Ayah memberi kepastian untuk pulang.
“Aduh,
maaf, Nak. Ayah tak bisa pulang. Kamu kan tau kalau Ayah baru datang pulang
kampung. Bisa dapat uang dari mana?” jawaban ayah agak ketus. Ku usap dadaku
sembari berucap dalam hati.
“Astaghfirullahal
‘adzim.” Tiba-tiba sesak napasku mendengar jawaban Ayah yang tidak sesuai
dengan harapan. Tapi Penulis sadar bahwa semua sudah jadi irisan takdir yang
harus dijalani.
“Ya
sudah kalau begitu, ma’afkan Aku, ya Pak?” Aku coba menutup HP dengan sedih.
Satu
minggu sebelum janur kuning melengkung di pelaminan, Penulis kembali
menghubungi Ibu. Tinggal Ibu satu-satunya harapan untuk mendampingi Penulis di
momen maha penting, yang hanya akan digelar satu kali seumur hidupku.
“Ma’af
ya, Nak. Ma’afkan Ibu.” Dari HP terdengar isak tangis Ibu, belum pernah Aku
mendengar tangisan Ibu sesedih ini.
“Ibu
hanya bisa menyumbang untuk acara resepsimu aja, Nak. Ibu tidak punya ongkos
untuk Pulang ke Indonesia.” Lanjutnya. Bagai disambar petir mendengar kata-kata
menyayat dari Ibu. Mulut ini terasa kaku tak mampu berucap sepatah katapun.
“Sekali
lagi maafin Ibu ya, Nak? Tak ada sedikitpun Ibu punya niatan untuk
menyia-nyiakanmu.” Akupun larut dalam kesedihan. Tak terbayang, momen terindah
dalam hidupku tanpa kehadiran kedua orang tua.
Waktu
berjalan mengantar malam menjemput pagi. Pernikahan tetap harus dilaksanakan
meski tanpa kehadiran kedua orang tua. Tak ada seorangpun dari mempelai laki
yang bersedia datang, baik dari keluarga besarnya yang di Malaysia atau
keluarga besarnya yang di Bawean. Beruntung ada Sepupuh Ayah yang kawin di
Madura yang bersedia menjadi pengganti orang tuaku.
Malam yang ditentukan telah tiba. Penulis mencoba tegar seolah tak
ada apa-apa dalam dirinya. Di dampingi
Keluarga Besar Pondok Pesantren Mahasinul Akhlaq dan Keluarga Besar Pondok
Pesantren Al-Ishlah, Penulis merasa tidak sendiri. Dengan gagahnya penulis
berangkat penuh percaya diri menuju rumah Calon Istri. Hanya butuh waktu lima
menit dengan berjalan kaki untuk sampai tujuan.
Rombongan Mempelai Pria sudah memasuki halaman dan disambut meriah
oleh keluarga Mempelai Wanita. Kamipun dipersilahkan masuk ke mushalla tepat di
depan rumah Calon Istri. Setelah suguhan di hidangkan dan basah basih seputar
pernikahan dituturkan. Akhirnya Calon Mertuku menyerahkan Wali Nikah Kepada
Kiai Miftah (Pengasuh PP. Al-Ishlah) ayah mertua sepupu Ayahku.
Acara sakral pernikahan sebentar lagi akan digelar. Di detik-detik
itulah Ku menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada bayang orang tua kandungku
di sana ikut serta memeriahkan pesta perkawinan anak tercintanya, namun semua
hampa. Sedih bercampur haru menusuk jiwa,
air matapun menetes tanpa terasa. Duka nestapa berselimut suka cita,
dihari yang paling berharga tanpa hadirnya kedua Orang Tua. Dalam benak hanya
bisa menghiba “Semoga perkawinanku kekal ke surga.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar