Setiap
irisan takdir yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya pasti mengandung butiran
mutiara hikmah yang luar biasa. Kemampuan setiap orang untuk memahami sebuah
hikmah itu tidaklah sama. Ada yang memiliki kemampuan cepat memahami dan
menikmati hikmah itu, ada juga yang lamban dan memaki apa yang menimpa.
Dari
empat bersaudara, Penulis adalah anak yang paling terdampak Tenaga Kerja Wanita
(TKW) pemburuh ringgit di Negeri Jiran. Sejak dua tahun usianya hingga dewasa di
tinggal orang tua, dengan kesempatan yang dimiliki untuk bertemu sekedar
melepas kangen paling cepat lima tahun bahkan delapan tahun sekali. Kondisi
pahit seperti ini Saya alami bersama seorang adikku. Sementara dua adikku yang
lain lahir dan hidup bersama kedua orang tua di Malaysia.
Setelah
kita semua dewasa, kembali takdir menyeret Aku dan Adikku dari Pulau kecil Bawean
ke hamparan alam yang semakin luas. Aku kawin dan menetap di ujung Pulau Garam
Madura, sementara Adikku kawin ke Tulungagung dan bekerja di Batam. Posisi
Batam yang dekat dengan Malaysia, memberi kesempatan Pada Adik untuk
mengunjungi Ibu ke Malaysia tiap tahun. Sementara kesempatan yang ku miliki
masih seperti dulu.
Goresan
takdir yang di titah harus kita terima sepenuh jiwa. Salah satu hikmah yang penulis
dapatkan dari jarangnya hidup dan berkumpul dengan orang tua, yakni sedikitnya
dosa kepada mereka. Namun sebaliknya, aku adalah anak yang sangat minim
berbakti kepada kedua Orang Tua. Meski raga tak pernah bersua tapi hati kita
selalu erat terikat dalam untaian do’a yang terangkat.
Ayah, Ibu
dan Kedua Adikku semua sudah menjadi Warga Tetap Malaysia. Rumah dan mata
pencaharian mereka semua di Malaysia. Mustahil rasanya jika Aku berharap Mereka
bisa hidup di tengah-tengah keluargaku. Setiap selesai salat ku tak bosan
berdo’a semoga Tuhan masih memberi kesempatan padaku tuk berbakti pada kedua
Orang tua dengan cara terbaik-Nya.
Bulan
empat tahun 2020 awal-awal corona melanda. Nenekku di Bawean sakit keras. Ibu
pada waktu itu langsung memutuskan untuk pulang kampung menjengok Nenek, Aku
dan keluarga kecilku juga pulang kampung. Kita semua berjumpa di Bawean dan
alhamdulillah Allah memberi kesembuhan pada Nenek. Satu minggu Aku di Bawean,
ahirnya Aku dan keluarga kecilku memutuskan untuk kembali ke Madura.
Setelah
tiga hari Ibu di Bawean, di Malaysia di tetapkan Luckdown sehingga Ibu tidak
bisa kembali sesuai rencana. Inilah awal skenerio Tuhan pada hamba-Nya. Terlalu
berat menahan beban perasaan dengan anak-anaknya yang ditinggal di Malaysia
membuat Ibu jatuh sakit. semua anak-anaknya memutuskan untuk merujuk Ibu ke
rumah sakit Ibnu Sina Gresik setelah dua minggu sebelumnya sudah menjalani
perawatan intensif tiga rumah sakit di Pulau Bawean.
Satu
minggu di Ibnu Sina, kondisi Ibupun semakin baik dan diperbolehkan rawat jalan.
Dengan kondisi Ibu yang masih lemah, aku rembuk dengan keluarga agar Ibu di
izinkan untuk aku bawa ke Sumenep Madura. Setelah semua setuju, aku dan Istriku
membawa Ibu ke Sumenep.
Tiga hari
di rumah kondisi Ibu bukannya membaik, malah semakin memburuk. Akupun buru-buru
membawa Ibu ke rumah sakit Pamekasan. Setelah satu minggu menjalani perawatan
sesuai standar covid-19, Ibu di nyatakan sehat dan boleh di bawak pulang. Aku
dan adikku sangat senang melihat kondisi Ibu yang semakin membaik, Adikpun
memutuskan kembali bekerja ke Papua. Sepuluh hari berikutnya Ibu sudah bisa
keluar rumah sendiri tanpa di pegang. Keberuntungan telah Allah berikan
kepadaku. Do’aku selama ini telah di ijabah. Detik-detik terahir
hidupnya berada di pangkuanku. Dua puluh hari kondisi Ibu benar-benar telah
pulih. Aku dan istriku tinggal menjaga rutinitas makannya. Keluar masuk jeding
sudah bisa sendirian tanpa harus dipegang.
Terjatuh
dari pembaringan menjadi penyebab kondisi ibu drop lagi. Semakin hari
kondisinya semakin memprihatinkan. Adik yang bekerja di Papua pun kembali
pulang. Sementara kedua adikku yang lain tak bisa pulang karena korona. Setelah
adik datang, Ibu langsung dilarikan ke rumah sakit PT Garam Kalianget Sumenep.
Ibu kembali di bawak pulang setelah tidak ada harapan untuk kesembuhannya,
ternyata Ibu sudah menjalani takdirnya untuk menghembuskan nafas terahirnya di
tengah-tengah keluargaku persis setelah mobil ambulance yang mengahantarnya
kembali.
Jasad itu
telah di kebumikan di pemakaman yang dekat dengan keluarga besar Istriku. Saat
itulah aku baru sadar bahwa Allah bukan hanya membuka pintu baktinya padaku
melainkan juga meng amanahkan pusara Ibu padaku dan keluarga di Madura.
“Tiada
yang tau dibumi mana kita akan di kuburkan.” Begitu bunyi penggalan Alqur’an Surat Lukman ayat 34.
Pusara
akan menjadi pengingat bahwa keberadaan kita di dunia karena keberadaan orang
yang ada di dalamnya. Pusara juga akan mengingatkan kita pada kematian yang
sama. Pusara juga bisa menjadi pemersatu keluarga yang hidup di lintas pulau
bahkan lintas negara, Insya Allah. Do’a padamu aku wajibkan minimal setiap
selesai salat lima waktu. Tapi setiap hari jum’at kudatangi pusaramu, bukan
untuk menyembah kuburmu tapi untuk menakar betapa keberadaanmu sangat berarti
bagiku. Semuga Ibu tenang di surga-Nya. Amin…amin…amin Ya, Mujibassailin.
Alfatihah
BalasHapus